Sabtu, 1 Oktober 2011, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Walau umumnya rakyat Indonesia masih mengenang atau mengingatnya, namun ada pro dan kontra tentang peringatan Hari Kesaktian Pancasila itu.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada dasarnya adalah untuk memperkukuh Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa. Hal itu perlu kita sadari dalam rangka mengembalikan Pancasila sebagai dasar dan arah paradigmanya yang selama ini cenderung dilupakan, bahkan mungkin hendak ditinggalkan.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila perlu dijadikan media refleksi untuk merenungkan bagaimana bangsa Indonesia saat ini menggunakan Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara. Dalam masa transisi ke arah demokrasi yang sebenarnya saat ini, ternyata telah terjadi krisis dan disintegrasi moral dan mental.
Dalam rangka mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat terpanggil untuk membela dan merevitalisasi Pancasila yang sedang berada di ambang bahaya. Dalam konteks merevitalisasi Pancasila sebagai dasar negara menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis, seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara atau ideologi, maka suatu bangsa akan mustahil untuk mempertahankan survival-nya.
Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam keutuhan dengan pembukaan, dan dieksplorasikan sebagai paradigma dalam dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Hasrat politik untuk bersatu tidak diimposisi dari atas, tetapi merupakan pergerakan kemasyarakatan, di mana semua kelompok masyarakat bangsa yang majemuk ini ikut serta secara aktif.
Jiwa dan semangat Pancasila lahir dari pertemuan hasrat dan kehendak politik pergerakan masyarakat dan dari kesadaran para pendiri negara ini. Dari kancah perjuangan persatuan dan persatuan bangsa dan negara itulah ditemukan formulasi kearifan kenegarawanan dalam falsafah negara Pancasila.
Penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan yang panjang, penuh perdebatan yang berbobot, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan yang akrab.Kiranya perlu disadari pula bahwa kebinekaan maupun kesatuan-kesatuan Indonesia adalah suatu kenyataan dan suatu persoalan. Walaupun proses integrasi bangsa terus berjalan, namun potensi-potensi yang disintegratif belum hilang, bahkan amat mungkin tidak pernah akan hilang. Hal itu sebagai konsekuensi kita mendasarkan diri pada Pancasila. Sebab, Pancasila dengan karakter utamanya yang inklusif dan non-diskriminatif, tidak melihat kebinekaan dan kesatuan-persatuan sebagai suatu perlawanan, melainkan merangkul kedua-duanya.
Pancasila amat menekankan kesatuan-persatuan, tetapi tanpa mematikan atau melenyapkan kebinekaan. Di pihak lain, Pancasila menerima serta menghargai kebinekaan, tetapi dalam batas tidak membahayakan atau menghancurkan kesatuan-persatuan. Kebinekaan dalam kesatuan-persatuan dan kesatuan-persatuan dalam kebinekaan. Di sinilah letak kesaktian Pancasila.
Dalam konstelasi masyarakat Indonesia, memilih kesatuan-persatuan dengan mematikan kebinekaan hanya akan menghasilkan konflik-konflik yang mungkin diketahui di mana awalnya, tapi tak pernah dapat diduga di mana atau bagaimana akan berakhir. Sebaliknya, memilih kebinekaan dengan mengabaikan kesatuan-persatuan ibarat melepas bermacam-macam binatang buas dalam satu kandang, sehingga akan saling menerkam.
Kerangka dasar kehidupan nasional yang mendasarkan diri pada Pancasila akan melihat keragaman suku, agama, ras sebagai aset atau kekayaan bangsa. Namun, jiwa dan semangat Pancasila juga punya batas-batas yang menyangkut tetap tegaknya kesatuan-persatuan agar kebinekaan itu tetap berfungsi sebagai kekayaan dan modal bangsa, jangan berfungsi sebaliknya.
Pada masa penjajahan, kebinekaan dijadikan alat untuk memecah belah bangsa kita. Dalam konteks Indonesia merdeka, keadaan memang berubah cukup fundamental. Namun, ini pun belum menyelesaikan seluruh persoalan. Ketika diputuskan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, semua kelompok dalam masyarakat terikat satu sama lain dalam satu kesatuan-persatuan secara politis. Setelah melalui fase transisi, dapat dikatakan bahwa kesatuan-persatuan politis itu tetap mantap, tapi kesatuan-persatuan berbangsa dan bernegara masih terkotak-kotak.
Bertolak dari persoalan tersebut, barangkali faktor keselamatan seluruh rakyat itulah yang kiranya tetap merupakan perekat. Ada nasionalisme dan patriotisme, namun lebih ke dalam, antarkita dengan manifestasi ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan, atau suku lewat jalan Pancasila.
Jalan Pancasila tidak bisa dikatakan sebagai jalan yang mudah, tetapi sejak awal memang telah disadari bahwa memilih jalan Pancasila memang berarti memilih jalan yang tidak mudah. Juga tidak dikatakan bahwa pembatasan-pembatasan yang bersifat eksternal tidak diperlukan. Tetapi, yang mesti jelas adalah pembatasan-pembatasan eksternal saja tidaklah cukup. Itu mungkin dapat mencegah perpecahan, tetapi tidak dapat menumbuhkan kesatuan dan persatuan.
Adapun aturan main atau konsensus tersebut juga harus bersifat dinamis, tidak sekali jadi, tetapi terus menjadi selalu terbuka untuk dikembangkan dalam dan melalui proses pengalaman bersama.
Rakyat sudah jenuh dengan pengotak-ngotakan yang mencetuskan konflik-konflik horizontal. Rakyat mengharapkan para pemimpin negeri ini benar-benar mampu memperbaiki keadaan. Janganlah kepentingan rakyat dinomorduakan atau diadu domba untuk ambisi pribadi atau golongan.
Bangsa ini masih memerlukan momen-momen yang mampu menggugah kesadaran akan pentingnya Pancasila. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara harus kita jaga dan kita pertahankan dengan segala cara. Tanpa Pancasila, negeri ini akan digerogoti oleh bangsanya sendiri.***